
Serang – Gejolak harga minyak dunia yang sering tidak stabil ditambah dengan geopolitik kawasan yang memanas di dunia harus membuat kita berpikir keras. Bukan hal yang tidak mungkin, Indonesia akan terjerak pada geopolitik ketika tidak memikirkan energi yang terbarukan.
Untuk itu Indonesia harus memaksimalkan energi terbarukan yang dimilikinya. Diperparah ketika dunia yang muncul dari transisi energi terbarukan akan sangat berbeda dari dunia yang dibangun di atas dasar bahan bakar fosil.
Berikut laporan yang dirilis oleh International Renewable Energy Agency (IRENA) dan Global Commission on the Geopolitics of Energy Transformation 2019 lalu mengemukakan bahwa transformasi energi global yang sedang berlangsung dan didorong oleh energi terbarukan akan
memiliki implikasi geopolitik yang signifikan. Mengapa ?
Pertama, sumber energi terbarukan tersebar hampir diseluruh negara, tidak seperti bahan bakar fosil yang terkonsentrasi di beberapa negara saja. Hal ini tentu akan merubah peta suplai dan perdagangan bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batu bara, dan gas secara global.
Kedua, sebagian besar energi terbarukan dapat terus mengalir. Sementara itu, bahan bakar fosil berbentuk cadangan, sehingga stok energi fosil hanya dapat digunakan sekali. Sebaliknya, energi terbarukan alirannya tidak akan habis dan lebih sulit untuk diganggu.
Ketiga, sumber energi terbarukan dapat diperbarui dan dapat digunakan pada hampir semua skala dan terdesentralisasi. Ini menambah efek demokratisasi dari energi terbarukan yang tentunya akan merubah bagaimana kita memproduksi dan menggunakan energi.
Terakhir, sumber energi terbarukan memiliki biaya marginal yang hampir nol, dan beberapa di antaranya, seperti matahari dan angin, menikmati pengurangan biaya hampir 20% untuk setiap penggandaan kapasitas.
Ini meningkatkan kemampuan energi terbarukan dalam mendorong perubahan yang tentunya perlu tetap membutuhkan regulasi yang mendukung untuk memastikan stabilitas dan profitabilitas di sektor ketenagalistrikan.
Mari Elka Pangestu dalam paparannya juga menggarisbawahi tiga aspek utama yang menjadi karakter dari transisi energi: elektrifikasi, efisiensi energi, dan energi terbarukan.
Peningkatan elektrifikasi di seluruh sektor menjadikan ketenagalistrikan sebagai sektor yang tumbuh paling cepat – tumbuh dua pertiga lebih cepat dari konsumsi energi secara keseluruhan sejak tahun 2000.
Segmen yang saat ini menyumbang 19% dari total konsumsi energi final, diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan elektrifikasi di sektor pengguna akhir. Efisiensi energi memungkinkan pertumbuhan ekonomi dengan input energi yang lebih rendah.
Dalam beberapa dekade terakhir, peningkatan efisiensi energi telah memutus hubungan ini. Permintaan energi primer sekarang diperkirakan akan tumbuh sebesar 1% per tahun pada periode hingga 2040.
Pertumbuhan energi terbarukan yang sangat cepat, terutama dari energi matahari dan angin, mendorong keekonomian dari teknologi energi terbarukan dan sistem penyimpanan energi yang semakin murah. Hal ini menjadikan teknologi energi terbarukan menjadi semakin kompetitif, bahkan sudah dapat menggantikan energi fosil sebagai pembangkit listrik dengan biaya termurah di beberapa negara di dunia.
Akselerasi pembangunan energi terbarukan telah menggerakkan transformasi energi global yang akan memiliki konsekuensi geopolitik yang mendalam.
Seperti halnya bahan bakar fosil telah membentuk peta geopolitik selama dua abad terakhir, transformasi energi dari energi terbarukan akan mengubah distribusi kekuatan global, hubungan antar negara, risiko konflik, dan penggerak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari ketidakstabilan geopolitik.
Transformasi ini akan memiliki implikasi yang besar dalam ruang lingkup dan dampak di aspek sosial, ekonomi, dan politik yang melampaui sektor energi. (FN)